Jakarta, (PR).- Jumlah publikasi ilmiah internasional Indonesia melampaui Singapura untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir. Pada triwulan pertama tahun ini, yakni hingga 6 April 2018, publikasi ilmiah Indonesia tercatat sebanyak 5.125 publikasi, sedangkan Singapura 4.948 publikasi.
Indonesia hanya kalah dari Malaysia yang memublikasikan sebanyak 5.999 jurnal ilmiah. Sementara Thailand dan Vietnam di posisi ke-4 dan 5 dengan capaian sebanyak 3.741 dan 2.185 publikasi.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, Kemenristekdikti terus berusaha menggenjot peningkatan jumlah publikasi ilmiah. Di antaranya melalui beragam kebijakan strategis untuk mendorong para profesor, dosen dan peneliti untuk produktif menulis publikasi ilmiah.
Menurut dia, publikasi bukan hanya sebagai tugas dan kewajiban dosen, tetapi juga menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah riset.
Ia menuturkan, kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari jumlah hasil riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nasir mengeluarkan Permenristekdikti Nomor 20/2017 tentang Pemberian Tunjungan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
Regulasi tersebut untuk menyokong Permenristekdikti Nomor 44/2015 tentang SNDikti yang mewajibkan para lukusan S2 dan S3 melakukan publikasi ilmiah.
Pada akhir tahun lalu, Kemenristekdikti juga meluncurkan Science and Technology Index (SINTA), pengindeks publikasi dan sitasi jurnal ilmiah untuk mendorong kultur publikasi bagi dosen dan peneliti di Indonesia.
“Ikhtiar itu pun akhirnya mulai berbuah. Setelah melampaui Thailand sampai akhir 2017 dengan jumlah publikasi ilmiah internasional Indonesia mencapai angka 18.500, pada triwulan pertama 2018 Indonesia berhasil menggeser Singapura, menempati urutan ke-2 di ASEAN setelah Malaysia,” kata Nasir di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta, Rabu, 11 April 2018.
Ia mengatakan, kuantitas publikasi ilmiah internasional Indonesia harus berbanding lurus dengan kualitasnya. Ia menegaskan, hasil riset harus bermanfaat bagi masyarakat sehingga meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia.
“Ini merupakan pencapaian yang sangat bagus bagi Indonesia. Namun permasalahannya jumlah publikasinya meningkat drastis, tapi sitasinya menurun. Untuk itu kualitas dari jurnal-jurnal yang ada di Indonesia harus didorong terus agar makin baik,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kualitas dari sebuah riset dapat dilihat dari indeks sitasi atau seberapa banyak peneliti lain mengutip publikasi ilmiah tersebut. Indeks sitasi yang tinggi mencerminkan tingkat kualitas dari sebuah riset.
Nasir mengingatkan, para akademisi dan peneliti tidak hanya mengejar kuantitas, tetapi juga dapat menjaga kualitas publikasi ilmiahnya.
Kendati demikian, Nasir menuturkan, publikasi bukan merupakan satu satunya ukuran riset. Hal paling mendasar yang harus dipenuhi dari sebuah riset adalah untuk memberikan manfaat kepada masyarakat.
Dengan demikian, geliat dunia usaha dan industri nasional bisa lebih meningkat. “Pada tahun ini program-program seperti itu dilakukan di berbagai tempat dengan berbagai skema sebanyak dua ribuan lebih. Semoga program-program tersebut semakin mendapat perhatian kita bersama,” katanya.
Jurnal bereputasi
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti menambahkan, para profesor dan dosen diharapkan produktif menulis karya ilmiah pada jurnal bereputasi. Ia menegaskan, indikator jurnal bereputasi di antaranya terbit rutin secara berkala dan memiliki pengulas yang kompeten pada bidangnya masing-masing.
Jurnal bereputasi banyak indikatornya, antara lain paper yang dimuat di jurnal tersebut direview oleh reviewer berkompeten di bidangnya. Kantor alamat jurnalnya jelas dan bisa ditelusur, bukan abal-abal. Penulis dalam satu terbitan bervariasi tidak hanya satu atau dua orang dan indeks sitasinya bagus,” kata Ghufron.***
Oleh: Dhita Setiawan